Kelompok 1:
Mohammad Haqqi Abrian (14512714)
Oksiana Dwi Gandini (15512578)
Rani Febrian (16512025)
Tahta Iswandaru (17512282)
Ilmu Kesehatan Mental dan Objek Formalnya
Dikehidupan
sehari-hari jika kita memperhatikan orang-orang maka banyak hal yang kita
lihat. Ada orang yang kelihatannya gembira, bahagia,dapat bergaul dengan mudah
walupun mereka menghadapi bermacam-macam kesulitan. Tapi sebaliknya ada juga
yang kelihatannya sering mengeluh, frustasi, gelisah, delusi dikejar-kejar,
ketakutan abnormal, kecemasan kronis, dan tidak dapat bergaul dengan baik.
Karena perbedaan-perbedaan tersebut yang menyebabkan para psikolog berusaha
menyelidiki apakah yang menyebabkan tingkah laku berbeda-beda walaupun
orang-orang berada dalam kondisi yang sama.
Usaha
ini merupakan wewenang dari salah satu cabang termuda psikologi, yaitu ilmu
kesehatan mental (atau psikologi kesehatan mental). Perkembangan ilmu kesehatan
mental beberapa tahun belakangan ini sudah sampai ke taraf preventif, yaitu
mencari jalan pencegahan supaya orang jangan mengalami gangguan mental. Tema
pokok yang menjadi objek penyeledikan ilmu kesehatan mental adalah penyesuaian
diri (adjustment) dan kesehatan
mental (mental health). Penyesuaian
diri adalah salah satu istilah yang mengandung banyak arti dan terkadang
artinya berbeda-beda untuk orang yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena
penyesuaian diri itu rumit dan kualitasnya kadang-kadang baik kadang-kadang
juga buruk. Kalau kualitas penyesuaian diri itu buruk, maka biasanya kita
namakan ketidakmampuan menyesuaikan diri (malaadjustment).
Kesehatan
mental merupakan bagian yang penting dari penyesuaian diri. Kepribadian adalah
keseluruhan yang terintegrasi, dan tidak mungkin keharmonisan dalam salah satu
bidang respons dapat dipertahankan jika tidak ada keharmonisan pada
bidang-bidang lain. Karena itu, kesehatan mental dapat dianggap sebagai suatu
fase khusus dari seluruh pola penyesuaian diri, dan hubungan kesehatan mental
dengan segi-segi yang berbeda dari penyesuaian diri harus diselidiki secara
seksama.
Definisi
Ilmu Kesehatan Mental
Secara
singkat ilmu kesehatan mental dapat dikatakan sebagai ilmu yang memperhatikan
perawatan mental atau jiwa. Sama seperti ilmu pengetahuan yang lainnya, ilmu
kesehatan mental mempunyai objek khusus untuk diteliti dan objek tersebut
adalah manusia. Manusia dalam ilmu ini diteliti dari titik tolak keadaan atau
kondisi mentalnya. Ilmu kesehatan mental merupakan terjemahan dari istilah mental hygiene. Mental (dari kata Latin: mens,
mentis) berarti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat, sedangkan hygiene (dari kata Yunani: hugiene) berarti ilmu tentang kesehatan.
Mental hygiene sering juga disebut psikohygiene.Psyche (dari kata Yunani: psucho) berarti panas, asas kehidupan,
hidup, jiwa, roh, sukma, semangat. Ada juga yang membedakan antara mental hygiene dan psikohygiene. Mental hygiene menitikberatkan
kehidupan kerohanian, sedangkan psikohygiene
menitikberatkan manusia sebagai totalitas psikofisik atau psikosomatik. Ada
banyak definisi yang diberikan oleh para penulis terhadap ilmu kesehatan
mental. Diantaranya seperti yang ada dibawah ini.
Alexander
Schneiders mengatakan bahwa: “Ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang
mengembangkan dan menerapkan seperangkap prinsip yang praktis dan bertujuan
untuk mencapai dan memelihara kesejahteraan psikologis organisme manusia dan
mencegah gangguan mental serta ketidakmampuan meyesuaikan diri” (Schneiders,
1965). Samson, Sin, dan Hofilena mendifinisikan ilmu kesehatan mental sebagai
ilmu “yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara fungsi-fungsi mental yang
sehat dan mencegah ketidakmampuan menyesuaikan diri atau kegiatan-kegiatan
mental yang kalut.” (Samson, Sin, & Hofilena, 1963). Howard Bernard
menyatakan bahwa ilmu kesehatan mental adalah suatu program yang dipakai dan
diikuti seseorang untuk mencapai penyesuaian diri (Bernard, 1957). D.B. Klein
mengemukakan bahwa ilmu kesehatan mental itu adalah ilmu yang bertujuan untuk
mencegah penyakit mental dan meningkatkan kesehatan mental (Klein, 1955). Louis
P. Thorpe mengemukakan bahwa “ilmu kesehatan mental adalah tahap psikologi yang
bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesehatan mental” (Thorpe, 1960).
Dari
berbagai definisi diatas ilmu kesehatan mental menunjukkan bahwa ilmu tersebut
pertama-tama berbicara mengenai pemakaian dan penerapan seperangkap prinsip
kesehatan yang bertujuan utnuk mencegah ketidakmampuan menyesuiakan diri serta
meningkatkan kesehatan mental. Ilmu ini pada hakikatnya bersifat preventif dan
tujuannya yang utama adalah untuk memelihara kesehatan dan efesiensi mental.
Pentingnya
Ilmu Kesehatan Mental
Ilmu
kesehatan mental menyentuh kehidupan manusia pada banyak hal yang sangat penting
dan oleh karena itu ilmu kesehatan mental penting bagi setiap orang. Ilmu
kesehatan mental sangat bernilai dalam membantu seseorang untuk memahami
dirinya sendiri dengan lebih baik. Apabila ia meneliti dorongan-dorongan
dasarnya, baik yang biologis maupun psikologis, maka ia akan memperoleh
penjelasan-penjelasan mengenai beberpa tingkah lakunya. Kemudian jika ia
menlangkah lebih jauh dan menyelidiki kegiatan-kegiatan alam tak sadarnya, maka
ia segera menemukan penjelasan-penjelasan tentang beberapa tegangan yang
terdapat dalam dirinya.
Apabila
seseorang memahami dirinya sendiri dengan lebih baik dan juga menyadari dirinya
berharga, maka ia lebih siap untuk menyelami perasaan-perasaan, emosi-emosi,
dan motivasi-motivasi yang dimiliki oleh orang lain. Ia akan menyesuaikan cara
hidupnya dengan sesamanya sehingga ia dapat hidup bersama dengan mereka secara
harmonis.dari segi pandangan umum, prinsip-prinsip ilmu kesehatan mental
penting sekali dalam persiapan untuk kehidupan keluarga dan profesional. Para
perawat dan dokter akan menemukan banyak bahan yang digunakan secara praktis
dalam menangani pasien mereka karena ilmu kesehatan mental memberikan mekanisme
motivasi dan tingkah laku manusia.
Para
orang tua dan guru yang bertindak menurut ilmu da menggunakan secara tepat
prinsip-prinsipnya yang sehat dapat mengarahkan dan membimbing tingkah laku dan
sikap para remaja pada waktu mereka berkembang melalui tahap-tahap kehidupan
yang berbeda dalam perkembangan kehidupan kepribadian mereka. Studi tentang
ilmu kesehatan mental ini dapat memberikan banyak cara preventif dan juga cara
pengobatan yang akan membantu mengurangi banyak masalah sosial yang keompleks
dan berat yag disebabkan oleh kenakalan/kejahatan, alkoholisme, dan
ketidakmampuan menyesuaikan diri yang lain, baik yang ringan maupun yang berat.
Segi-segi
Ilmu Kesehatan Mental
Ada
banyak pendekatan untuk mempengaruhi peneysuaian diri manusia, dan dengan
demikian akan meningkatkan kesehatan mental. Ada tiga cara pendekatan yang
lazim digunakan, yaitu penedekatan preventif, pendekatan terapeutik, dan
pendekatan kuratif yang dikenal sebagai psikiatri preventif.
Pendekatan
preventif ilmu kesehatan mental adalah pendekatan yang pertama-tama berusaha
mencegah gangguan-gangguan mental yang ringan dan yang dapat menimbulkan
psikosis-psikosis yang sebenarnya. Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan
pembinaan-pembinaan hubungan orang tua-anak yang sehat dan pengadaan lingkungan
sekolah yang dapat menimbulkan perkembangan minat-minat dan kemampuan-kemampuan
yang melekat pada diri anak. Ilmu kesehatan mental preventif bertolak dari
prinsip yang mengemukakan bahwa cara yang paling baik untuk mengembangkan
kepribadian yang dapat menyesuiakan diri dengan baik tidak lain adalah
mengelilingi kepribadian tersebut dengan pengaruh-pengaruh lingkungan yang
sehat sehingga dengan demikian kepribadian tesebut dapat mencapai kematangan
emosional.
Ada
beberapa siswa yang mendapat pendidikan awal di keluarga mereka dan belajar di
beberapa sekolah yang sangat baik, namun pada suatu ketika karena suatu
kejadian menimpa mereka maka mereka mejadi anak-anak nakal/jahat yang
menimbulkan kesulitan-kesulitan tingkah laku. Ini adalah salah satu bidang dari
segi terapeutik ilmu kesehatan mental – perbaikan ketidakmampuan meyesuaikan
diri yang ringan dalam tingkah laku sehingga tidak berkembang menjadi
hambatan-hambatan yang berat. Terapi-terapi perbaikan lain, seperti katarsis
mungkin dianjurkan supaya orang itu melepaskan dirinya dari tegangan-tegangan
yang terpendam sambil berusaha menemukan penyesuaian diri yang dibutuhkannya.
Pendekatan
yang paling tua dan paling teknis terhadap masalah-masalah tingkah laku ialah
pendekatan kuratif ilmu kesehatan mental. Segi ilmu kesehatan mental ini
mencakup praktek-praktek yang dilakukan untuk menemukan dan memperbaiki
ketidakmampuan menyesuiakan diri yang berat dan tidak memerlukan perawatan di
rumah sakit.
Hubungan
Ilmu Kesehatan Mental dan Disiplin-disiplin Lain
Ilmu
kesehatan mental yang pertama-tama bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesehatan
mental merupakan gabungan dari banyak bidang disiplin. Di antara banyak bidang
studi atau disiplin yang berkaitan erat dengan ilmu kesehatan mental adalah
genetika, sosiologi, antropologi, psikiatri dan neurologi, psikologi,
psikoanalisis, ilmu kedokteran psikosomatik (suatu cabang baru dari ilmu
kedokteran), dan klinik psikiatri.
Genetika
Genetika
adalah suatu cabang biologi yang menangani studi tentang hereditas-perpindahan
sifat-sifat dari orang tua kepada keturunannya (anak-anak). Ada fakta yang
menunjukkan hubungan yang erat antara pengaruh-pengaruh herediter dan beberapa
tipe gangguan mental. Contohnya ada beberapa bentuk epilepsy dan
gangguan-gangguan lain pada otak. Apabila hubungan kausal genetic diketahui,
maka para ahli ilmu kesehatan mental dapat menghimbau agar tidak mengadakan
perkawinan antara pasien penyakit epilepsy supaya mengurangi penyakit mental
dan kelainan-kelainan mental lain yang mungkin terjadi pada generasi-generasi
yang akan datang.
Sosiologi
Sosiologi
adalah suatu ilmu yang menangani konstitusi, evolusi, dan gejala-gejala pada
masyarakat manusia. Dalam mengungkap hubungan yang nyata antara sosiologi dan
ilmu kesehatan mental, D.B. Klein mengatakan: “sekarang jelas bahwa kesehatan
mental dari setiap warga Negara tidak dapat dipisahkan dari pengaruh-pengaruh
social yang membantu membentuk kepribadiannya, dan ia harus beroperasi dengan
atau menentang pengaruh-pengaruh tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Ketergantungannya pada pengaruh-pengaruh ini begitu erat dan kokoh sehingga
dalam pemikiran ilmu kesehatan mental ia tidak lagi dibenarkan kalau berkata
bahwa jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat merupakan urusan individual
semata-mata.” (Klein, 1955).
Juvenal
mengatakan jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat dan dalam masyarakat yang
sehat. Bahkan dalam studi mengenai penyebab-penyebab kenakalan atau
kejahatan yang merupakan masalah yang berat dalam ilmu kesehatan mental,
factor-faktor lingkungan yang ditambahkan pada penyebab-penyebab psikologis
memperlihatkan hubungan timbal balik antara kesehatan mental seseorang dan
masyarakat tempat orang itu hidup.
Antropologi
Antropologi
menyelidiki manusia primitive dan produk dari kebudayaannya dapat membantu ilmu
kesehatan mnetal dalam usaha-usahanya untuk mengurangu terjadinya
ketidakmampuan menyesuaikan diri individu. Suatu contoh dari bantuan yang
diberikan oleh antropolog ialah pembedaan antropologis antara keluarga-keluarga
patriarchal dan matriarchal. Hal itu dapat dipakai oleh ahli ilmu kesehatan
mental untuk mengurangi konflik-konflik dalam keluarga-keluarga yang berbeda.
Contoh lain apabila seseorang berhadapan dengan masalah penyesuaian diri dengan
suatu kebudayaan asing, para antropolog memiliki data tertentu mengenai
pengaruh-pengaruh pada perkembangan kepribadian jika seseorang dari latar
belakang kebudayaan tertentu berhadapan dengan masalah seperti itu. Suatu
bentuk biasa dari konflik-konflik kebudayaan yang demikian terdapat dalam
kesulitan-kesulitan penyesuaian diri pasangan suami-istri yang memiliki latar
belakang agama dan budaya yang sangat berbeda.
Psikiatri dan neurologi
Psikiatri
adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang menangani diagnosis dan perawatan
gangguan-gangguan mental. Seorang psikiater disamping menjadi seorang dokter,
ia juga memiliki latar belakang yang baik dalam psikologi, dan pertama-tama ia
menangani tipe-tipe gangguan kepribadian yang lebih berat. Ia juga diminta
pendapatnya dalam perkara-perkara pengadilan untuk menetapkan keadaan mental
yang sebenarnya dari orang-orang yang berlagak mengalami mental tidak sehat
(tidak waras) untuk menghindari hukuman berat dari tindakan pidana yang mereka
lakukan.
Neurologi
mencakup diagnosis dan perawatan kerusakan pada struktur otak dan bagian-bagian
lain dari system saraf. Neurology lebih menekankan struktur dan lokasi
kerusakan yang terjadi pada jaringan-jaringan otak. Penyelidikan-penyelidikan
semacam itu biasanya mengungkapkan penyebab yang sebenarnya dari gangguan
mental pasien. Sering kali seorang
dokter adalah seorang neurolog dan psikiater. Dengan demikian, neuropsikiater
ini adalah seorang yang berpraktek medis dan berspesialisasi dalam
gangguan-gangguan neurologis dan psikiatrik.
Orang
yang bekerja sama secara erat dengan psikiater dan neurolog adalah perawat
psikiatri. Sebagai seorang perawat yang lulus dari Perguruan Tinggi, ia
memiliki spesialisasi dalam studi mengenai segi-segi mental dan emosional dari
gangguan-gangguan kepribadian dan dilatih dalam merawat orang yang sakit
mental. Seorang perawat psikiatri harus dapat melaksanakan program latihan
psikiatri yang mengikuti tujuan pengobatan yang ditetapkan oleh neuropsikiater
untuk pasien.
Psikologi
Hampir semua bidang psikologi turut
memberi sumbangan bagi usaha ilmu kesehatan mental. Psikologi anak yang
menyelidiki anak dari masa prenatal sampai masa remaja memperkenalkan
kondisi-kondisi yang berbeda dalam perkembangan emosi dan mental anak kepada
para ahli ilmu kesehatan mental. Psikologi abnormal yang menangani
penyimpangan-penyimpangan dalam tingkah laku manusia membantu memberikan
wawasan kepada ahli ilmu kesehatan mental mengenai fakta tentang
penyebab-penyebab dari gangguan kepribadian. Demikian juga psikologi pendidikan
dapat memberikan pemahaman kepada para mahasiswa ilmu kesehatan mental mengenai
pengaruh pengalaman-pengalaman sekolah terhadap kesehatan mental.
Psikologi klinis, yang merupakan
salah satu bentuk psikologi terapan berusaha menentukan kemampuan-kemampuan dan
ciri-ciri khas seorang individu dengan menggunakan bermacam-macam metode
pengukuran, analisis, dan observasi. Psikolog klinis adalah seorang spesialis
yang mendapat pendidikan di Perguruan Tinggi dan memenuhi syarat untuk menguji
dan menggunakan cara-cara psikoterapeutik bagi orang-orang yang memperlihatkan
penyimpangan kepribadian. Ia juga terlatih dengan baik dalam menggunakan dan
menginterpretasikan instrumen-instrumen tes psikologi: tes intelijensi dan tes
bakat, tes kepribadian, teknik proyeksi (projective techniques).
Psikoanalisis
Ini adalah konsep dari Freud yang
memperlihatkan peran dan dorongan-dorongan tak sadar dan konflik-konflik batin
manusia dalam menyebabkan bermacam-macam gangguan kepribadian.
Penjelasan-penjelasan tentang kepribadian yang diutarakan oleh psikoanalisis
mengemukakan bahwa kehidupan mental seorang individu khususnya cara-cara kerja
alam tak sadar menjelaskan banyak segi tingkah lakunya. Dan apa yang dibuat
seseorang terhadap dirinya dari masa bayi sampai masa dewasa sebagian besar
tergantung pada kemampuannya untuk mengendalikan energy-energi psikis yang
dimilikinya.
Seorang psikoanalisis yang juga
adalah seorang dokter menafsirkan kepribadian menurut konsep-konsep
psikoanalitik. Ia menggunakan teknik-teknik asosiasi bebas dan analisis mimpi
dalam merawat bermacam-macam kekalutan mental.
Ilmu Kedokteran
Psikosomatik
Ilmu kedokteran ini adalah salah
satu cabang dari ilmu kedokteran yang mempelajari pengetahuan dan perawatan
gangguan fisik dengan latar belakang psikogenik. Gangguan-gangguan psikosomatik
ini disebut juga neurosis karena gangguan-gangguan dan kerusakan pada beberapa
bagian tubuh disebabkan oleh kesulitan mental atau emosional.
Klinik Psikiatri
Klinik tersebut teridiri dari staf
yang meliputi dokter spesialis, psikologi klinis, pekerja social psikiatri, dan
perawat-perawat psikiatri yang bekerja sama dalam menemukan sifat dan penyebab
dari kekalutan-kekalutan kepribadian pasien dan membantunya supaya bisa sembuh
kembali atau dapat menyesuaikan diri lagi.
Tujuan dan fungsinya ialah: (1)
memastikan penyebab dari kekalutan pasien dan berusaha melokalisasikan factor-faktor
yang tampaknya menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri dari orang yang
bersangkutan. Cara ini merupakan cara untuk menentukan etiologi atau penyebab
penyakit; (2) memastikan sifat dari penyakit pasien; asal mula dan perkembangan
serta sintom-sintom dari kekalutan tersebut diselidiki dengan berbagai metode
dan teknik. Cara ini dikenal sebagai diagnosis; (3) menentukan arah dan hasil
yang mungkin muncul dari kekalutan pasien. Berdasarkan sifat dan penyebab
kekalutan tersebut, maka diadakan usaha untuk memastikan berapa lama penyakit
itu akan bertahan, dan apakah pasien akan sembuh sama sekali, sebagian sembuh,
atau tidak sembuh sama sekali. Cara ini disebut prognosis; (4) memilih
cara-cara untuk memperbaiki kekalutan pasien dan membantunya supaya dapat
mengadakan penyesuaian diri kembali secara adekuat. Perawatan dilakukan dengan
memberi obat, kejutan (shock) listrik, pembedahan, psikoanalisis, analisis
dengan wawancara, hipnoanalisis, dan re-edukasi.
Konsep Penyesuaian Diri
Arti Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri (adjustment)
merupakan suatu istilah yang sangat sulit didefinisikan karena (1) penyesuaian
diri mengandung banyak arti, (2) criteria untuk menilai penyesuaian diri tidak
dapat dirumuskan secara jelas, dan (3) penyesuaian diri (adjustment) dan
lawannya ketidakmampuan menyesuaikan diri (maladjustment) memiliki batas yang
sama sehingga akan mengaburkan perbedaan diantara keduanya. Dengan demikian,
apabila kita mau menghilangkan kekacauan atau salah pengertian mengenai apa itu
penyesuaian diri, maka kita harus menjelaskan konsep-konsep dasarnya. Demikian
juga halnya kalau kita mau memahami secara jelas tentang istilah-istilah yang
berhubungan, seperti normalitas, abnormalitas, dan ketidakmampuan menyesuaikan
diri.
Ini adalah hal yang sangat penting
dalam mempelajari penyesuaian diri manusia. Bukan macamnya tingkah laku yang
menentukan apakah orang dapat menangani proses penyesuaian diri, tetapi cari
bagaimana tingkah laku itu digunakan. Apakah tuntutan-tuntutan dari dalam atau
stress-stres dari lingkungan dihadapi dengan berdoa, kenakalan/kejahatan,
simtom-simtom neurotic dan psikotik, tertawa, gembira atau permusuhan, namun
konsep penyesuaian diri dapat digunakan sejauh respons tersebut berfungsi untuk
mereduksikan atau meringankan tuntutan-tuntutan yang dikenakan pada individu.
Apabila respon-respon tersebut tidak efisien, merugikan kesejahteraan pribadi,
atau patologik, maka respons-respons itu disebut respons-respons yang tidak
mampu menyesuaikan diri (maladjustive).
Penyesuaian Diri sebagai
Adaptasi
Secara historis arti istilah
“penyesuaian diri” sudah mengalami banyak perubahan. Karena kuatnya pengaruh
pemikiran evolusi pada psikologi, maka penyesuaian diri disamakan dengan
adaptasi, yaitu suatu proses di mana organism yang agak sederhana mematuhi
tuntutan-tuntutan lingkungan.
Erich
Fromm dalam bukunya, Escape from Freedom (Fromm, 1941) mengemukakan konsep
adaptasi yang menarik dan berguna yang mendekati ide penyesuaian diri. Fromm
membedakan apa yang dinamakannya adaptasi statis dan adaptasi dinamik. Ia
menggunakan adaptasi statis untuk menyebut perubahan kebiasaan yang relative
sederhana, misalnya orang berpindah dari satu kota ke kota lain. Sedangkan
adaptasi dinamik adalah situasi di mana seseorang menerima hal-hal meskipun menyakitkan,
misalnya seorang anak laki-laki tunduk kepada perintah-perintah ayah yang keras
dan mengancam. Fromm menafsirkan neurosis sebagai respons dinamik, yaitu
adaptasi yang sama dengan penyesuaian diri.
Demikian juga halnya pengertian
penyesuaian diri sebagai sikap mempertahankan diri atau kelangsungan hidup
dipakai untuk kesejahteraan fisik, tetapi tidak dapat dipakai untuk penyesuaian
diri dalam pengertian psikologis.
Ide adaptasi mengacu pada
konformitas dan sering kali ditekankan bahwa penyesuaian diri menghendaki
konformitas terhadap norma tertentu
sehingga konsep tersebut jatuh pada masalah normalitas. Kita mengetahui
bahwa ada tekanan-tekanan yang kuat terhadap orang-orang yang menyimpang dari
larang-larangan social, moral, atau hokum, dan kita mengetahui bahwa antara
norma-norma atau ukuran-ukuran yang ditetapkan masyarakat dan proses
penyesuaian diri terdapat hubungan-hubungan tertentu yang telah ditetapkan.
Tetapi kita tidak dapat menerima penyesuaian diri sama dengan konformitas.
Penyesuaian Diri dan
Individualitas
Dalam mendefinisikan penyesuaian
diri kita tidak boleh melupakan perbedaan-perbedaan individual. Anak yang
sangat cerdas atau genius tidak sesuai dengan pola “normal” baik dalam
kapasitas maupun dalam tingkah lakunya, tetapi kita tidak dapat menyebutnya
sebagai orang yang tidak dapat menyesuaikan diri.
Norma-norma kelompoknya juga sangat
berbeda-beda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lainnya, seperti
yang diperlihatkan dengan sangat jelas oleh data dari antropologi budaya. Dalam
bidang penyesuaian diri seksual, misalnya tabu-tabu dan kebiasaan-kebiasaan
social sangat berbeda-beda pada setiap masyarakat sehingga konsep penyesuaian
diri yang baik di bidang seksual mungkin dapat diterima di kebudayaan Barat
namun sama sekali tidak dapat diterima dalam kebudayaan Indonesia.
Penyesuaian Diri
sebagai Penguasaan
Penyesuaian diri yang baik
kelihatannya mengandung suatu tingkat penguasaan, yaittu kemampuan untuk
merencanakan dan mengatur respons-respons pribadi sedemikian rupa sehingga
konflik-konflik, kesulitan-kesulitan, dan frustasi-frustasi akan hilang dengan
munculnya tingkah laku yang efisien atau yang menguasai. Istilah tersebut
meliputi menguasai diri sendiri sehingga dorongan-dorongan, emosi-emosi, dan
kebiasaan-kebiasaan dapat dikendalikan; juga berarti menguasai lingkungan,
yaitu kemampuan untuk menangani kenyataan secara sehat dan adekuat dan
menggunakan lingkungan orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam cara yang
menyebabkan individu dadpat menyesuaikan diri. Seperti dikatakan oleh seorang
penulis,”Apabila kebutuhan untuk menguasai adalah sama sekali atau untuk
sebagian terbesar gagal dalam jangka waktu yang lama, maka individu pasti tidak
dapat menyesuaikan diri” (Carroll, 1951).
Kebanyakan orang tidak memiliki kemampuan
yang dituntut oleh penguasaan itu. Pemimpin-pemimpin, orang-orang genius, dan
orang-orang yang IQ-nya di atas rata-rata mungkin diharapkan memperlihatkan
penguasaan yang luar biasa itu, tetapi meskipun demikian orang-orang ini pun
sering mengalami kegagalan. Ini justru mengingatkan kita bahwa setiap orang
memiliki tingkat penyesuaian dirinya sendiri, yang ditentukan oleh
kapasitas-kapasitas bawaan, kecenderungan-kecenderungan yang diperoleh, dan
pengalaman. Kegagalan dalam menyesuaikan diri sering kali ditentukan oleh
hubungan antara kapasitas individu dalam menyesuaikan diri dan kualitas dari
tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepadanya.
Definisi Penyesuaian
Diri
Dari segi pandangan psikologi,
penyesuaian diri memiliki banyak arti, seperti pemuasan kebutuhan, keterampilan
dalam menangani frustasi dan konflik, ketenangan pikiran/jiwa, atau bahkan
pembentukan simtom-simtom. Tyson menyebut hal-hal seperti kemampuan untuk
beradaptasi, kemampuan berafeksi, kehidupan yang seimbang, kemamp-uan untuk
mengambil keuntungan dari pengalaman, toleransi terhadap frustasi, humor, sikap
yang tidak ekstrem, objektivitas, dan lain-lain (Tyson, 1951). Kita akan
menemukan kualitas-kualitas lain ketika kita membicarakan criteria mengenai
penyesuaian diri dan kesehatan mental. Kita juga menghadapi kesulitan karena
penyesuaian diri itu sendiri tidak bisa dikatakan baik atau buruk. Hanya dapat
dikatakan bahwa penyesuaian diri adalah cara individual atau khusus organism
dalam bereaksi terhadap tuntutan-tuntutan dari dalam atau situasi-situasi dari
luar.
Karena penyesuaian diri itu sendiri
tidak bisa dikatakan baik atau buruk, maka kita dapat mendefinisikannya dengan
sangat sederhana, yaitu suatu proses yang melibatkan respons-respons mental dan
tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi
kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustasi-frustasi, dan konflik-konflik
batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin ini dengan tuntutan-tuntutan
yang dikenakan kepadanya oleh dunia di mana ia hidup. Dalam arti ini,
kebanyakan respons cocok dengan konsep penyesuaian diri.
Konsep Penyesuaian Diri
yang Baik
Orang yang dapat menyesuaikan diri
dengan baik adalah orang yang memiliki respons-respons yang matang, efisien,
memuaskan, dan sehat. Sebaliknya, orang yang neurotic adalah orang yang sangat
tidak efisien dan tidak pernah menangani tugas-tugas secara lengkap. Kesehatan
merupakan ciri yang sangat khas dalam penyesuaian diri yang baik.
Singkatnya, meskipun memiliki
kekurangan-kekurangan kepribadian, orang yang dapat menyesuaikan diri dengan
baik dapat bereaksi secara efektif terhadap situasi-situasi yang berbeda, dapat
memecahkan konflik-konflik, frustasi-frustasi, dan masalah-masalah tanpa
menggunakan tingkah laku simtomatik. Karena itu, ia relative bebas dari sintom-sintom,
seperti kecemasan, kronis, obsesi, atau gangguan-gangguan psikofisiologis
(psikosomatik). Ia menciptakan dunia hubungan antarpribadi dan
kepuasan-kepuasan yang ikut menyumbangkan kesinambungan pertumbuhan
kepribadian.
Penyesuaian Diri adalah
Relative
Penyesuaian diri seperti yang telah
dirumuskan di atas adalah relative karena tidak ada orang yang dapat
menyesuaikan diri secara sempurna. Penyesuaian diri itu harus dinilai
berdasarkan kapasitas individu untuk mengubah dan menanggulangi tuntutan-tuntutan
yang dihadapi, dan kapasitas ini berbeda-beda menurut kepribadian dan tingkat
perkembangan.
Penyesuaian diri juga bersifat
relative karena berbeda-berbeda menurut norma-norma social dan budaya serta
individu itu sendiri berbeda-berbeda dalam bertingkah laku. Bahkan, orang yang
dapat menyesuaikan diri dengan baik kadang-kadang merasa bahwa ia menghadapi
situasi atau masalah yang melampaui kemampuannya untuk menyesuaikan diri.
Sebaliknya, ketidakmampuan menyesuaikan diri adalah kelumpuhan yang akan menyebar
dari salah satu bagian kepribadian ke bagian kepribadian lainnya.
Penyesuaian Diri versus
Moralitas
Pemakaian istilah “baik” dan “buruk”
menempatkan seorang psikolog dalam ilmu kesehatan mental dalam posisi untuk
membuat penilaian terhadap tingkah laku yang sebenarnya diharapkan tidak
dilakukan oleh seorang ilmuwan. Kemampuan menyesuaikan diri tidak dapat
disamakan dengan dosa (Mowrer, 1960). Tetapi sering kali terjadi bahwa
imoralitas merupakan akar dari ketidakmampuan menyesuaikan diri dan sudah pasti
penyesuaian yang sehat dalam pengertian yang sangat luas harus juga mencakup
kesehatan moral.
Tetapi jika ciri dari penyesuaian
diri itu adalah baik, maka hal ini dipandang dari segi psikologi bukan dari
segi moral atau etika. Sama seperti kesehatan fisik adalah sesuatu yang
diinginkan oleh semua orang demikian juga kesehatan mental adalah baik bagi
semua orang dan jelas juga bahwa ketidakstabilan mental, sintom-sintom neurotic
atau psikopatik secara psikologis adalah buruk. Ketidakmampuan menyesuaikan
diri pertama-tama adalah kejahatan psikologis dan secara moral bisa dikatakan
jahat hanya jika responsnya yang bersifat moral dan bersifat psikologis
jahat/buruk.
Kriteria Penyesuaian
Diri
Kriteria
dan Kodrat Penyesuaian Diri
Kita telah melihat bahwa penyesuaian
diri itu memiliki banyak kualitas yang berbeda, dan masing-masing kualitas
dapat dipakai sebagai criteria untuk menilai dengan jelas penyesuaian diri.
Seperti yang dikatakan oleh Levine bahwa “definisi mengenai normalitas dalam
arti rata-rata harus dilengkapi dengan definisi normalitas dalam arti sehat,
bahagia, berfungsi dengan baik matang. Definisi umum ini memerlukan penjelasan
tambahan yang khusus. Definisi ini memerlukan sejumlah criteria terinci tentang
kesehatan psikiatrik dan berfungsi dengan baik.” (King, 1951).
Erich
Fromm maju selangkah lebih jauh lagi dan berkata bahwa konsep kesehatan mental
memerlukan criteria universal. Ia mengatakan “berbicara mengenai masyarakat
yang sehat mengandung asumsi yang berbeda dari relativisme sosiologis. Itu
berarti jika kita berasumsi bahwa bisa ada suatu masyarakat yang tidak sehat,
dan asumsi ini sebaliknya berarti bahwa ada criteria universal untuk kesehatan
mental yang berlaku bagi bangsa manusia dan dengan demikian keadaan dari setiap
masyarakat dapat dinilai. Pandangan tentang humanism normative bertolak dari
beberapa asumsi dasar.” (Fromm, 1955).
Criteria
penyesuaian diri dan kesehatan mental dapat didefinisikan sebagai ukuran-ukuran
(norma-norma atau standar penilaian) yang digunakan untuk menentukan kualitas
dan juga tingkat penyesuaian diri pribadi atau social bagi setiap individu.
Apabila kita mengetahui ukuran-ukuran penyesuaian diri yang baik dan
ukuran-ukuran kesehatan mental, maka kita dapat mengarahkan usaha-usaha kita
dengan baik dan efektif pada waktu membantu orang lain. Juga criteria itu dapat
dipakai sebagai sumber utama untuk mengembangkan prinsip-prinsip ilmu kesehatan
mental dan konseling. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan aplikasi klinis
bersama-sama memajukan pengetahuan dan perawatan yang efektif terhadap
masalah-masalah penyesuaian diri.
Kriteria Umum versus
Kriteria Khusus Penyesuaian Diri
Kita telah melihat
bahwa penyesuaian diri pertama-tama adalah konformitas terhadap norma
psikologis dan bukan terhadap norma moral, dan norma psikologis ini dapat
dianggap sebagai criteria umum penyesuaian diri. Ini berarti respons-respons
yang menyesuaikan diri dapat dinilai sehat atau tidak sehat dengan
membandingkannya dengan apa yang dilakukan orang itu berkenaan dengan kodratnya
dnegan orang lain.
Jika kita sampai ke suatu titik di
mana kita tidak dapat menilai dengan jelas contoh-contoh tingkah laku, maka
kita harus menjelaskan implikasi-implikasi yang terkandung dalam criteria umum.
Ini dapat dilakukan secara efektif dengan menentukan sejumlah criteria khusus
yang berlaku bagi tingkah laku menyesuaikan diri. Misalnya, lebih mudah melihat
apa sebabnya pemahaman (insight) penting bagi penyesuaian diri ketika kita
menemukan bagaimana hubungannya dengan kesejahteraan psikologis. Pemahaman
merupakan salah satu criteria yang kita gunakan.
Ada banyak criteria yang serupa
dengan pemahaman dan semuanya dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
(1)criteria yang berkenaan dengan diri sendiri, (2) criteria yang berkrnaan
dengan orang lain, dan (3) criteria yang berkenaan dengan pertumbuhan pribadi.
Kriteria yang Berkenaan
dengan Diri Sendiri
Kita mulai dengan pemahaman
(insight) dan pengetahuan tentang diri sendiri (self-knowledge). Apa artinya
criteria ini> criteria ini berarti bahwa kita harus mengetahui kapabilitas
dan kekurangan diri kita sendiri apabila kita menangani secara efektif
masalah-masalah penyesuaian diri. Pengetahuan tentang diri sendiri memerlukan
perincian yang baik tentang kekuatan dan kelemahan kita sendiri.
Pemahaman diri sendiri juga berarti
kesadaran akan motivasi dasar dan pengaruh dari motivasi tersebut pada
pemikiran dan tingkah laku. Pemahaman diri sendiri dapat menyadarkan kita bahwa
kerap kali kita menyalahkan orang lain atas kekeliruan-kekeliruan dan kelemahan-kelemahan
kita sendiri, atau perasaan sakit atau kepedihan kerap kali dijadikan alasan
untuk bebas dari tanggung jawab. Karena kekurangan akan pemahaman itu, ornag
akan mencari-cari kesalahan orang lain, merasionalisasikan tingkah laku yang
tidak adekuat, atau mengadakan mekanisme pertahanan diri, dan semuanya ini
berbahaya bagi penyesuaian diri yang baik.
Pengetahuan diri sendiri dapat
menyebabkan “objektivitas” dan akhirnya “penerimaan diri sendiri”, dua kualitas
tambahan yang dipakai untuk menilai penyesuaian diri. Seperti dikatakan Allport
dengan sangat singkat: “integrasi, bagi orang yang neurotic atau bagi orang
yang normal, memerlukan self-objectification. Hal ini berarti bahwa integrasi
memerlukan pemahaman, pengetahuan tentang nilai-nilai, suatu gambaran jelas
tentang kekuatan-kekuatan dan kekurangan-kekurangan diri sendiri. Psikoterapi
dan agama sependapat mengenai hal ini.” (Allport, 1950). Pengetahuan dan
objektivitas adalah lawan mampu menyesuaikan diri.
Objektivitas merupakan langkah yang penting
untuk menerima diri sendiri, suatu kualitas penyesuaian diri yang dianggap
sebagai sesuatu yang hakiki bagi pertumbuhan pribadi. Penerimaan diri adalah
lawan dari pengasingan diri dan penurunan martabat diri sendiri yang sering
ditemukan pada pasien neurotic. Menerima diri sendiri pada dasarnya merupakan
langkah pertama menuju perbaikan diri.
Criteria lain penyesuaian diri yang
baik adalah pengendalian diri sendiri yang berarti orang mengatur
impuls-impuls, pikiran-pikiran, kebiasaan-kebiasaan, emosi-emosi, dan tingkah
laku berkaitan dengan prinsip-prinsip yang dikenakan pada diri sendiri atau
tuntutan-tuntutan yang dikenakan oleh masyarakat. Dnegan demikian, individu
kompulsif, histris atau obsesif, atau orang yang menjadi korban dari
kekhawatiran, sifat yang terlalu berhati-hati, ledakan amarah, kebiasaan gugup,
merasa sulit atau tidak mungkin menanggulangi dengan baik tugas-tugas dan
masalah-masalah sehari-hari.
Pengendalian diri sendiri adalah
dasar bagi integrasi pribadi yang merupakan salah satu kualitas yang penting
dari orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dan salah satu standar
peniliaian yang paling baik dalam menentukan tingkat penyesuaian diri.
Pengendalian diri adalah organisasi dari banyak unsure kepribadian yang berbeda
menjadi kesatuan yang erat dan totalitas yang berfungsi secara efisien.
Integrasi menghalangi konflik-konflik emosional yang kacau dan yang menganggu
pasien neurotic dan fungsi-fungsi otonom dari orang yang histeris.
Dalam mengembangkan pengendalian dan
integrasi, pembentukan “kebiasaan-kebiasaan yang bermanfaat” adalah penting
karena banyak penyesuaian diri individu pada setiap saat diakibatkan oleh
tingkah laku menurut kebiasaan (habitual behavior) dan biasanya penyesuaian
diri yang baik tidak dapat dirusak oleh system-sistem kebiasaan yang tidak
efisien atau tidak sempurna. Kebiasaan-kebiasaan yang berharga sangat penting
untuk efisiensi fisik dan mental, dan efisiensi itu sendiri sangat dibutuhkan
bagi penyesuaian diri.
“ilmu kesehatan mental telah
didefinisikan sebagai suatu cara hidup; dan cara hidup seseorang ditentukan
oleh kebiasaan-kebiasaan yang telah dibentuk. Apabila orang ingin mengendalikan
kehidupannya yang sangat penting untuk kesehatan mental, maka ia harus
membentuk dan membentuk kembali kebiasaan-kebiasaan yang merupakan bagian yang
begitu besar dari kehidupan sehari-hari” (Bernard, 1957).
Seperti telah dijelaskan
berkali-kali, penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamik yang hampir
selalu membutuhkan perubahan dan adaptasi dan dengan demikian semakin tetap dan
tidak berubah respons-respons itu, maka semakin sulit juga menangani
tuntutan-tuntutan yang berubah.
Kriteria yang Berkenaan
dengan Orang Lain
Beberapa criteria yang dapat
digunakan untuk menilai penyesuaian diri langsung berkaitan dengan hubungan
seseorang dengan orang lain, dan salah satu criteria yang sangat penting adalah
perasaan tanggung jawab.
Orang dewasa yang tidak bertanggung
jawab adalah orang yang tidak matang dan tingkah lakunya kekanak-kanakan
terhadap apa yang diharapkan daripadanya, dan ini merupakan tanda penyesuaian
diri yang tidak adekuat. Tanggung jawab adalah bagian yang sangat penting dari
kematangan dan juga sangat penting bagi penyesuaian diri.
Penyesuaian diri yang baik
memerlukan kematangan dalam setiap bagian tingkah laku manusia, termasuk bidang
social, emosional, moral, dan agama. Jika terjadu kegagalan atau cacat pada
salah satu bidang tersebut, maka mungkin akan terjadi ketidakmampuan
menyesuaikan diri.
Kalau berbicara mengenai
hubungan-hubungan social, maka penyesuaian diri yang baik menuntut supaya kita
dapat bergaul dengan orang lain, yang merupakan hakikat dari penyesuaian diri
social. Bergaul dengan orang lain berarti mengembangkan hubungan yang sehat dan
ramah, senang bersahabat dengan orang lain, menghargai hak, pendapat, dan
kepribadian orang lain, dan terutama sangat menghargai integritas pribadi dan
nilai sesama manusia.
Kriteria yang Berkenaan
dengan Pertumbuhan Pribadi
Setiap langkah dalam proses
pertumbuhan dari masa bayi sampai masa dewasa harus menjadi kemajuan tertentu
kearah kematangannya yang lebih besar dalam pikiran, emosi, sikap, dan tingkah
laku. Pertumbuhan kepribadian ditingkatkan oleh banyaknya minat terhadap
pekerjaan dan kegemaran. Minat yang sehat menghasilkan penyesuaian diri yang
sehat.
Kegiatan-kegiatan dalam pekerjaan
dan kegemaran harus juga memberikan pengalaman-pengalaman yang memuaskan. Sudah
barang tentu bahwa dimana ada minat, maka disitu akan terdapat kepuasan.
Pertumbuhan
pribadi tergantung juga pada skala nilai yang adekuat dan tujuan yang
ditetapkan dengan baik, criteria yang selalu dapat digunakan seseorang untuk
menilai penyesuaian diri. Skala nilai atau filsafat hidup adalah seperangkat
ide, kebenaran, keyakinan, dan prinsip yang membimbing seseorang dalam berpikir,
bersikap, dan dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain dalam memandang
kenyataan dan dalam tingkah laku social, moral, dan agama. Penyesuaian diri
memerlukan penanganan yang efektif terhadap masalah dan stress yang terjadi
dalam kehidupan kita sehari-hari, dan pemecahan masalah dan stress itu akan
ditentukan oleh nilai-nilai yang kita bawa berkenaan dengan situasi itu.
Dalam
proses pematangan, perkembangan suatu system nilai akan meliputi juga
pembentukan tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang menjadi inti dari
integrasi dan tingkah laku menyesuaikan diri. Orang yang memiliki tujuan-tujuan
yang ditetapkan dengan baik bertindak secara terarah dan bertujuan, meskipun
kadang-kadang terganggu oleh kehilangan arah, kebosanan, kekurangan minat dan
dorongan.
Criteria
terakhir untuk menilai penyesuaian diri adalah sikap terhadap kenyataan.
Penyesuaian diri yang baik memerlukan sikap yang sehat dan realistis yang
menyanggupi seseorang untuk menerima kenyataan sebagaimana adanya bukan
sebagaimana diharapkan atau diinginkan. Sikap yang sehat terhadap masa lampau,
masa sekarang, dan masa depan sangat penting untuk penyesuaian diri yang sehat.
Sejauh
mana criteria ini dipenuhi mungkin hasil akhirnya adalah kepribadian yang sehat
dan dapat menyesuaikan diri dengan baik, yang bebas dari respons-respons dan
sintom-sintom yang melumpuhkan, yang merupakan ciri khas dari kepribadian yang
tidak adekuat, tidap dapat menyesuaikan diri, atau neurotic.
Konsep
Kesehatan Mental
Arti Kesehatan Mental
Kesehatan
mental merupakan kondisi yang sangat dibutuhkan untuk penyesuaian diri yang
baik, dan demikian juga sebaliknya. Apabila seseorang bermental sehat, maka
sedikit kemungkinan ia akan mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri yang
berat. Kita dapat berkata bahwa kesehatan mental adalah kunci untuk penyesuaian
diri yang sehat (Scott, 1961).
Jangkauan
dari pengertian penyesuaian diri adalah lebih luas daripada kesehatan mental.
Seseorang mungkin dalam bidang pekerjaan tidak dapat menyesuaikan diri,
meskipun demikian ia bermental sehat. Tetapi apabila kesulitan-kesulitan di
bidang pekerjaan menyebabkan seseorang mengalami fristasi, ketidakbahagiaan,
kebencian, atau delusi dikejar-kejar (delusion of persecution), maka terjadilah
masalah kesehatan mental.
Reaksi-reaksi
seperti suka membantah, kecewa dan sikap bermusuhan adalah sintom-sintom mental
dari konflik-konflik dan frustasi-frustasi yang sangat dalam, sama halnya juga
dengan otot yang sakit, kelelahan, atau sakit kepala merupakan tanda dari suatu
infeksi. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa kesehatan mental berarti bebas
dari sintom-sintom yang melumpuhkan dan menganggu, yang merusak efisiensi
mental, kestabilan emosi, atau ketengan pikiran.
Kesehatan Mental dan Efisiensi Mental
Konsep kesehatan mental berhubungan
erat dengan efisiensi mental, dan kadang-kadang kedua konsep tersebut
disamakan. Sudah pasti kesehatan dalam bentuk apapun merupakan dasar untuk
efisiensi, dan Jones melihat efisiensi sebagai salah satu di antara ketiga sesi
kesehatan mental dan normalitas (kedua segi yang lain adalah kebahagiaan dan
adaptasi terhadap kenyataan). Tetapi, konsep efisiensi mempunyai arti sendiri,
yakni penggunaan kapasitas-kapasitas untuk mencapai hasil sebaik mungkin dalam
keadaan yang ada pada waktu itu. Efisiensi mental adalah penggunaan
kapasitas-kapasitas kita secara efektif untuk mengamati, membayangkan, belajar,
berpikir, memilih, dan juga mengembangkan terus-menerus fungsi-fungsi mental
sampai ke suatu tingkat efisiensi yang lebih tinggi.
Dapat dilihat efisiensi mental
berhubungan erat dengan kesehatan mental sama seperti efisiensi fisik dengan
kesehatan fisik. Sama seperti halnya seorang anak kecil yang sakit tidak dapat
bermain atau belajar dengan baik, demikian juga orang yang mendapat gangguan
mental tidak dapat mengamati, berpikir, atau belajar secara efektif.
Definisi Kesehatan
Mental
Kesehatan mental adalah terhindarnya
individu dari sintom-sintom neurosis dan psikosis. Kesehatan mental adalah
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan
dengan masyarakat dimana ia hidup. Untuk dapat menyesuaikan dirinya sebagaimana
adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Di sampung itu, orang harus
berusaha mengenal, memahami, dan menilai orang lain secara objektif.
Menurut definisi ini, orang yang
bermental sehat adalah orang yang dapat menguasai segala factor dalam hidupnya
sehingga ia dapat mengatasi kekalutan mental sebagai akibat dari
tekanan-tekanan perasaan dan hal-hal yang menimbulkan frustasi.
Kesehatan mental adalah pengetahuan
dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala
kapasitas, kreativitas, energy, dan dorongan yang ada semaksimal mungkin
sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain serta terhindar dari
gangguan atau penyakit mental (neurosis dan psikosis). Dalam definisi ini,
gambaran tentang kodrat manusia adalah optimistic dan penuh harapan.
Menurut Dr. Estefania Aldaba Lim
(1956), psikologi klinis yang terkemuka Filipina, kesehatan mental itu tidak
bisa didefinisikan secara sederhana, tetapi harus menyangkut berbagai mavam
hal. Dalam pandangannya, kesehatan mental adalah (1) Bukan penyesuaian diri
dalam semua keadaan karena ada banyak keadaan di mana seseorang sebaiknya tidak
menyesuaikan diri dengannya sebab kalau tidak demikian, maka ada kemungkinan ia
tidak akan mencapai kemajuan; (2) bukan bebas dari kecemasan dan ketegangan
karena kecemasan dan ketegangan sering kali merupakan persyaratan dan akibat
yang ditumbulkan oleh kreativitas; (3) Bukan bebas dari ketidakpuasan karena
ketidakpuasan yang realistic membuktikan adanya kemajuan; (4) Bukan konformitas
karena salah satu kriteria untuk kematangan adalah kemampuan untuk berada
terpisah dari masyarakat apabila keadaan menuntutnya; ciri kesehatan mental
adalah kebebasan yang realtif dan prasangka-prasangka budaya dan pribadi; (5)
Bukan berkurangnya prestasi dan kreativitas karena ciri kesehatan mental adalah
kemampuan individu untuk menggunakan tanaganya dengan sepenuh-penuhnya; (6)
Bukan tidak adanya tabiat-tabiat pribadi yang aneh karena banyak tabiat yang
aneh seperti itu yang tidak menganggu fungsi tubuh yang normal, memperkaya
kehidupan individu dan orang-orang yang berhubungan dengannya; (7) Kesehatan
melemahkan kekuasaan karena ciri kesehatan mental adalah meningkatnya kemampuan
individu untuk menggunakan dan menghargai kekuasaan yang realistic sambil
mengurangi penggunaan kekuasaan sebagai suatu kekuasaan yang menekan dan yang
hanya dipakai untuk memuaskan kebutuhan pribadi individu; (8) Bukan
bertentangan dengan nilai-nilai agama karena kesehatan mental memudahkan dan
melengkapi tujuan-tujuan agama.
Kesehatan mental tidak hanya jiwa
yang sehat berada dalam tubuh yang sehat (mens sana in corpora sano), tetapi
juga suatu keadaan yang berhubungan erat dengan seluruh eksistensi manusia.
Itulah suatu keadaan kepribadian yang bercirikan kemampuan seseorang untuk
menghadapi kenyataan dan untuk berfungsi secara efektif dalam suatu masyarakat
yang dinamik.
Kriteria Kesehatan
Mental
Alexander A. Schneiders dalam
bukunya yang berjudul Personality Dynamics and Mental Health, mengemukakan
beberaoa kriteria yang sangat penting dan dapat digunakan untuk menilai
kesehatan mental. Kriteria tersebut dapat diuraikan sebagai berikut
(Schneiders, 1965).
Efisiensi Mental
Dari
apa yang telah dibicarakan tentang hubungan antara kesehatan mental dan
efisiensi mental, jelas bahwa efisiensi dapat digunakan untuk menilai kesehatan
mental. Tentu saja kepribadian yang mengalami gangguan emosional, neurotic,
atau tidak adekuat sama sekali tidak memiliki kualitas ini.
Pengendalian dan
Integrasi Pikiran dan Tingkah Laku
Pengendalian
yang efektif selalu merupakan salah satu tanda yang sangat pasti dari
kepribadian yang sehat. Hal yang juga penting bagi kesehatan mental adalah
integrasi pikiran dan tingkah laku, suatu kualitas yang biasanya
diidentifikasikan sebagai integritas pribadi. Pembohong yang patologik,
psikopat, dan penipu mengalami kekurangan dalm integritas pribadi dan sering
kali cirinya adalag bermental patologik.
Integritas Motif-Motif serta
Pengendalian Konflik dan Frustasi
Dapat
dilihat bahwa kemampuan untuk mengintegrasikan motivasi-motivasi pribadi dan
tetap mengendalikan konflik-konflik dan frustasi-frustasi sama pentingnya
dengan integrasi pikiran dan tingkah laku. Konflik yang hebat bisa muncul
apabila motif-motif tidak terintegrasi. Kecenderungan-kecenderungan yang
bertentangan ini harus diintegrasikan antara satu dengan yang lainnya jika
konflik-konflik dan frustasi-frustasi itu dikendalikan.
Perasaan-Perasaan dan
Emosi-Emosi yang Positif dan Sehat
Integrasi
yang dibutuhkan bagi kesehatan mental dapat ditunjang oleh perasaan-perasaan
positif dan demikian juga sebaliknya perasaan-perasaan negative dapat menganggu
atau bahkan merusak kestabilan emosi. Perasaan-perasaan tidak aman yang dalam,
tidak adekuat, bersalah, rendah diri, bermusuhan, benci, cemburu, dan iri hati
adalah tanda-tanda gangguan emosi dan dapat menyebabkan mental tidak sehat.
Sebaliknya, perasaan-perasaan diterima, cinta, memiliki, aman, dan harga diri
masing-masing memberi sumbangan pada kestabilan mental dan dilihat sebagai
tanda kesehatan mental.
Ketenangan atau
Kedamaian Pikiran
Banyak
criteria penyesuaian diri dan kesehatan mental berorientasi kepada ketenangan
pikiran/mental, yang sering kali disinggung dalam pembicaraan mengenai
kesehatan mental. Apabila ada keharmonisan emosi, perasaan positif,
pengendalian pikiran dan tingkah laku, integrasi motif-motif maka akan muncul
ketengan mental.
Sikap-Sikap yang Sehat
Sikap-sikap
mempunyai kesamaan dengan perasaan-perasaan dalam hubungannya dengan kesehatan
mental. Dalam perjumpaan kita dengan kepribadian-kepribadian yang tidak dapat
menyesuaikan diri atau kalut, kita selalu teringat betap pentingnya
mempertahankan pandangan yang sehat terhadap hidup, orang-orang, pekerjaan,
atau kenyataan. Tidak mungkin kesehatan mental terjadi dalam konteks kebencian
dan prasangka, pesimisme dan sinisme, atau keputusasaan dan kehilangan harapan.
Konsep Diri
(self-concept) yang Sehat
Seseorang
harus mempertahankan orientasi yang sehat keapada kenyataan objektif, demikian
juga ia harus berpikir sehat tentang dirinya sendiri. Perasaan-perasaan diri
yang tidak adekuat, tidak berdaya, rendah diri, tidak aman, atau tidak berharga
akan mengurangi konsep-diri yang adekuat. Kondisi ini akan mengganggu hubungan
antara diri sendiri dan kenyataan sehingga akan menjadi lebih sukit menemukan
criteria lain dalam kesehatan mental.
Identitas Ego yang
Adekuat
Menurut
White, “identitas ego adalah diri atau orang di mana ia merasa menjadi dirinya
sendiri” (White, 1952). Pada beberapa orang, identitas ego rupanya tidak tumbuh menjadi stabil
karena mereka mendekati masa remaja atau masa dewasa, melainkan akan terjadi
fiksasi-fiksasi pada tingkat-tingkat perkembangan yang tidak matang atau
regresi pada cara-cara bertingkah laku yang lebih awal, serta akan terhambat
kemampuan untuk bertindak secara efektif. Menurut White, “apabila identitas ego
tumbuh menjadi stabil atau otonom, maka orang tersebut akan mampu bertingkah
laku lebih konsisten dan bertahan lama terhadap lingkungannya. Semakin ia yakin
akan kodrat dan sifat-sifat yang khas dari dirinya sendiri, maka semakin kuat
juga inti yang menjadi sumber kegiatannya” (White, 1952).
Hubungan yang Adekuat
dengan Kenyataan
Dalam
berbicara tentang criteria penyesuaian diri, kita mengenal salah satu criteria,
yakni orientasi yang adekuat pada kenyataan. Orientasi mengacu secara khusus
pada sikap seseorang terhadap kenyataan, sedangkan kontak mengacu pada cara
bagaimana atau sejauh mana seseorang menerima kenyataan-menolaknya atau
melarikan diri daripadanya. Dengan demikian, seseorang yang etrlalu menekankan
masa lampau adalah orang yang tidak berorientasi kepada kenyataan, sedangkan
seseorang yang menggantikan kenyataan dengan fantasi/khayalan adalah irang yang
telah menolak kenyataan. Hal yang penting disini adalah baik penyesuaian diri
maupun kesehatan mental membutuhkan hubungan yang sehat dengan dunia
benda-benda, orang-orang, dan peristiwa-peristiwa di mana seseorang mengadakan
kontak setiap hari.
Normalitas
dan Abnormalitas
Dilihat dari setiap segi pandangan. Konsep normalitas-abnormalitas
adalah konsep yang bersifat relatif. Penyimpangan dari norma apa pun yang
diterima seorang mungkin begitu kecil atau mungkin begitu mencolok sehingga
kelihatan jelas sifat abnormalnya. Tetapi karena tidak ada dikotomi yang tegas,
maka normalitas dan abnormalitas sulit dibedakan.
Kebanyakan
orang menerima bahwa penyesuaian diri yang baik sangat serupa dengan normalitas
dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan abnormalitas. Konsep-konsep ini
berhubungan erat, tetapi artinya berbeda. Untuk mengetahui lebih jelas kedua
istilah tersebut, alangkah baiknya kalau dikemukakan di sini berbagai segi
pandangan mengenai kedua pilihan tersebut.
Gambaran
Statistik tentang Normalitas dan Abnormalitas
Normal
secara harfiah berarti “konformitas” dengan suatu norma atau ukuran. Norma atau
ukuran itu kerap kali berarti rata-rata dalam istilah statistik. Misalnya ,
tinggi normal pria Indonesia adalah rata-rata 160cm. abnormal dalam arti ini
adalah penyimpangan jauh dari rata-rata. Salah satu tugas dari statistic adalah
mencari suatu angka di sekitar mana nilai-nilai dalam suatu distribusi memusat.
Angka yang menjadi pusat suatu distribusi disebut “tendensi sentral”.
Konsep
statistik tentang dapat juga diterapkan pada tingkat laku manusia dan
penyesuaian diri, tetapi hasilya kadang-kadang mengejutkan dan membingungkan.
Misalnya, menurut keterangan statistic, anak laki-laki “rata-rata” telah
melakukan mastrubasi pada usia 15 tahun dan dari sini disimpulkan baha
kebiasaan tersebut adalah normal. Kemudian lebih membingungkan lagi kalau
ditarik kesimupulan bahwa apa saja yang normal adalah hal yang kodrati dan
mengemukakan bahwa tingkah laku normal dalam pandangan statistic harus diterima
tanpa memperhatikan cacat sosial atau moralnya. Pendekatan statistik sudah
pasti dapat dipercaya dan berguna apabila yang diukur adalah factor-faktor yang
jelas sperti berat dan tinggi serta intelegensi tetapi dari segi pandangan
penyesuain diri, kesulitan dalam konsep “normal” dalam pandangan statistik
ialah norma tersebut diturunkan dari apakah manusia itu atau apakah yang
dilakukannya dan bukan dari criteria untuk tingkah laku adekuat. Mungkin dalam
pandangan statistik adalah normal kalau suami istri bertengkar, tetapi dari
pandangan psikologi adalah jelek.
Normalitas
dan Abnormalitas Menurut Norma Budaya dan Norma Pribadi
dari segi pandangan budaya, tingkah laku dan sikap hidup seseorang
dianggap normal atau abnormal tergantung pada lingkungan sosial (budaya) tempat
ia tinggal. Masyarakat merupakan pengawas (hakim) yang keras dan kejam terhadap
tingkah laku para anggotanya dan tidak membiarkan penyimpangan-penyimpangan
tingkah laku dari adat-istiadat atau norma umum yang sudah ada. Kebebasan dalam
batas yang rasional dari anggotanya bisa diberikan agar ia dapat mengungkapkan
dirinya dengan bebas. Tetapi, penyimpangan radikal yang menyebabkan kekacauan
pada individu dan orang-orang di sekitarnya sangat dikecam. Orang yang demikian
dianggap sebagai pribadi yang abnormal.
Kalau
normalitas dan abnornamlitas dikaitkan dengan pandangan budaya, maka akibatnya
ialah adat kebiasaan dan norma-norma hidup yang dianggap normal oleh kelompok
lain. Misalnya, dalam beberapa budaya halusinasi merupakan petunjuk adanya skizofrenia
dan individu yang berhalusinasi akan dirawat di rumah sakit. Tetapi dalam
budaya-budaya lain, halusinasi dilihat sebagai suara dewa dan individu-individu
yang berhalusinasi diangkat menjadi imam (Murphy, 1976). Dengan demikian dari
segi pandangan budaya, abnormalitas didefinisikan menurut norma-norma budaya, dan hak-hak dari individu diabaikan. Tetapi,
normalitas juga ditentukan oleh ukuran/norma pribadi. Bila tingkah laku
didasarkan pada nomr pribadi, maka perhatia dipusatkan pada (1) kesukaran
(kesulitan) yang dihadapi individu (individu dikatan abnormal bila ia cemas,
tertekan, tidak puas, atau sangat kalut); (2) disabilitas individu (individu
dikatakan abnormal bila ia tidak dapat berfungsi secara personal, sosial,
fisiologis, dan okupasional). Apa yang dikemukana diatas menunjukkan kesulitan,
disabilitas, dan penyimpangan dapat berperan dalam mendefinisikan tingkah laku
abnormal. Kita harus tetap fleksibel berkenaan dengan criteria yang digunakan
dalam menentukan apakah individu tertentu itu abnormal atau tidak.
Terkadang
norma personal dan norma cultural bertentangan. Bisa terjadi norma cultural
digunakan dan hak-hak dari individu diabaikan. Misalnya, kasus homoesksualitas
(di Amerika Serikat). Praktek homoseksualitas menyimpang dari norma cultural,
tetapi kemudian muncul satu pertanyaan: apakah kita berhak menyebut orang-orang
homoseksual itu disebut “abnormal”, tetapi pada tahun 1980 di Amerika Serikat
hal tersebut dipertimbangkan lagi oleh panel para ahli dalam Diagnostik and Statistical Manual of Mental
Disorders yang memutuskan tingkah
laku seperti apakah yang akan didaftar, dan mereka telah memutuskan bahwa
homoseksualitas bukan gangguan mental, kecual individu tidak merasa terganggu
bahagia terhadap preferensi seksualnya. Denga tidak mengabaikan norma kultrual
dan norma personal sepertin yang dikemukakan di atas, tingkah laku abnormal
mungkin dapat didefinisikan sebagai tingkah laku yang menyulitkan atau
melumpuhkan pribadi orang itu sendiri atau secara kultural begitu menyimpang
sehingga orang lain menilai tingkah laku itu tidak tepat atau maladaptif.
Normalitas
dan Abnormalitas Menurut Patologis
Dipandang
dari segi patologik, seseorang dikatakan normal kalau ia bebas dari
sintom-sintom penyakit. Sebaliknya ia dikatakan abnormal kalau tingkah lakunya
menunjukkan simtom-simtom gangguan penyakit tertentu. Misalnya, ada banyak
unsur-unsur ketakutan dan kecemasan kronis yang tidak beralasan pada pasien
psikoneurotik; simtom-simtom ilusi, delusi, dan halusinasi pada pasien
psikotik. Tetapi, ada sejumlah contoh ketidakmampuan menyesuaikan diri yang
biasa dan tidak patologik, dan itu tidak dapat menjadi ciri abnormalitas.
Misalnya, membaca, bolos sekolah, tidak taa, dan agresi termasuk kategori tidak
mampu menyesuaikan diri tetapi tidak dianggap abnormal menurut pengertian
penyakit fisik atau penyakit mental. Di lain pihak, tidak semua abnormalitas
dianggap patologik, misalnya tingkah laku eksentrik.
Pandangan
Psikologi tentang Normalitas dan Abnormalitas
agar dapat menggunakan kinsep normalitas kita harus mengemukakan norma
atau ukuran yang tidak mengizinkan adanya pengecualian-pengecualian. Kita
mengetahui bahwa penyesuaian diri yang baik diinginkan dan ketidakmampuan
menyesuaikan diri tidak diinginkan. Penyesuain diri yang baik adalah tipe
respons yang sesuai dengan kodrat atau kapasitas manusia, yang memajukan
hubungan yang sehat dengan sesame manusia. Tingkah laku itu adalah sehat,
memuaskan, dan matang. Masing-masing kualitas ini berasal dari kodrat manusia dan
hubunganya dengan kenyataan. Inilah yang kita maksudkan jika kita menyebut
seseorang itu normal. Ukuran ini bersifat psikologis dan bukan bersifat
statistik, moral, individual, atau patologik, dan respon-respons itu normal dan
adjustif. Tetapi, ada banyak respons yang merugikan kepribadian atau hubungan
antarpribadi manusia, dan respons-respons ini adalah abnormal dan maladjustif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar